Senin, 12 September 2022

Piala Dunia 2022: Mampukah berkaca dari Piala Dunia sebelumnya?

 

Sumber: https://www.sportingnews.com/uk/soccer/news/fifa-world-cup-whichteams-
have-qualified/86nbyru9dkh41ii7s800gjwav

Pada tahun 2022, Qatar menyelenggarakan Piala Dunia 2022 yang merupakan Piala Dunia pertama yang diselenggarakan di negara Arab. Seperti dikutip dari The Sporting News, Piala Dunia 2022 diikuti oleh 32 negara yang menjadikan Piala Dunia 2022 merupakan Piala Dunia terakhir yang menggunakan format 32 negara.

Namun sama seperti Piala Dunia tahun sebelumnya, Piala Dunia 2022 juga diwarnai berbagai macam kontroversi. Seperti yang dikutip Yahoo Sports, Piala Dunia 2022 tersandung permasalahan mulai dari masalah perlindungan tenaga kerja sampai kontroversi terkait dengan larangan penjualan bir sepanjang Piala Dunia 2022.

Tentu saja hal ini mengakibatkan Piala Dunia 2022 tidak jauh berbeda dengan Piala Dunia sebelumnya yang juga kontroversial. Belum lagi permasalahan terkait dengan Invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 memicu sanksi berupa Rusia tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi olahraga melahirkan kontroversi-kontroversi lain. Dengan permasalahan seperti ini, mampukah Piala Dunia 2022 bisa berkaca dari Piala Dunia sebelumnya?

Kontroversi Piala Dunia dari masa ke masa

Seperti yang diketahui bahwa Piala Dunia merupakan salah satu turnamen sepakbola paling bergengsi di dunia. Dengan berkumpulnya berbagai macam negara di seluruh dunia demi menampilkan permainan bola yang indah dan bertanding merebut juara menjadikan Piala Dunia merupakan salah satu acara olahraga paling banyak ditonton di seluruh dunia.

Namun, Piala Dunia sendiri bukannya tanpa berbagai macam kontroversi. Hal ini terkait dengan persiapan untuk lolos menuju Piala Dunia, lokasi Piala Dunia yang dianggap kontroversial sampai pertandingan-pertandingan yang seringkali melahirkan banyak kontroversi. Mulai dari penolakan negara-negara Eropa di Piala Dunia 1930 karena jarak yang jauh antara Eropa dan Amerika sampai permasalahan-permasalahan teknis di Piala Dunia 2022.

Menurut Kausik Bandyopadhyay, Souvik Naha dan Shakya Mitra dalam bukunya yang berjudul FIFA World Cup and Beyond: Sport, Culture, Media and Governance, Piala Dunia 1930 sudah diwarnai berbagai macam kontroversi. Salah satu kontroversi tersebut berawal ketika Uruguay dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia edisi pertama atas penghargaan sebagai juara Olimpiade cabang sepakbola tahun 1924 dan 1928 serta memperingati 100 tahun kemerdekaan Uruguay.

Akan tetapi, negara-negara Eropa keberatan dengan terpilihnya negara Uruguay sebagai tuan rumah Piala Dunia 1930 karena jaraknya yang jauh antara Eropa dan Amerika bila harus naik kapal laut karena pada saat itu layanan penerbangan belum seperti sekarang. Hal ini yang membuat negara-negara Eropa memboikot Piala Dunia 1930 sebagai protes atas terpilihnya Uruguay menjadi tuan rumah Piala Dunia. Oleh karena itu, Piala Dunia 1930 hanya diikuti oleh 13 negara saja dan 4 di antaranya adalah negara-negara Eropa.

Selain penolakan negara-negara Eropa, kontroversi Piala Dunia 1930 juga bersumber dari kurangnya persiapan yang matang dari penyelenggara. Estadio Centenario yang sedianya digunakan dari hari H-1 Piala Dunia 1930 belum bisa digunakan sehingga dua pertandingan pertama terpaksa menggunakan stadion kecil.

Pasca Piala Dunia 1930, kontroversi yang menghantui Piala Dunia terus berlanjut. Misalnya di Piala Dunia 1934 diwarnai dengan intrik-intrik politik dimana kemenangan timnas Italia tidak lepas dari campur tangan Benito Mussolini. Sementara itu, Piala Dunia 1938 diwarnai dengan penaklukan Austria oleh Nazi Jerman beberapa bulan sebelum pertandingan dimulai.

Seiring berjalannya waktu, berbagai macam peristiwa kontroversial mewarnai Piala Dunia. Salah satunya adalah Piala Dunia 1986 yang terkenal karena gol tangan tuhan Diego Maradona ketika timnas Argentina dengan menghadapi timnas Inggris di babak ronde ke-8. Gol tangan tuhan sendiri merupakan salah satu 10 gol tangan terkenal seperti dikutip How They Play.

Kontroversi demi kontroversi terus menghantui berbagai edisi Piala Dunia, salah satunya adalah Piala Dunia 2018. Salah satu permasalahan yang menghantui Piala Dunia 2018 adalah rasisme. Seperti yang dikutip The Guardian, rasisme merupakan masalah besar yang terjadi di Rusia dan terpilihnya Rusia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 menjadi kekhawatirnya pemain-pemain dari Afrika untuk tampil di Piala Dunia 2018.

Belajar dari Kontroversi Piala Dunia sebelumnya

Piala Dunia 2022 tentu saja masih menyisakan banyak kontroversi dari awal terpilihnya Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Tidak sedikit banyak pihak yang skeptis bahwa Piala Dunia 2022 bebas dari masalah. Terlebih, pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022 sendiri diwarnai dengan kasus korupsi.

Sekjen FIFA saat itu, Jerome Valcke seperti yang dikutip BBC News mengatakan bahwa dia menolak pernyataan Jack Warner mengenai e-mail yang menyebutkan keterlibatan Mohammed bin Hammam dalam kasus suap yang membawa Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Selain kasus korupsi yang melibatkan FIFA, salah satu permasalahan lain yang menghantui Piala Dunia 2018 adalah perlakuan terhadap tenaga kerja. Seperti yang dikutip Amnesty International, buruh yang terlibat dalam persiapan Piala Dunia 2022 mengalami berbagai macam eksploitasi. Mulai dari kondisi tempat tinggal buruh yang jauh dari kata layak sampai perlakuan kepada buruh yang tidak manusiawi.

Tentu masih banyak lagi kontroversi-kontroversi yang terjadi sepanjang Piala Dunia 2022 yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 November 2022 – 18 Desember 2022. Oleh karena itu, perlunya investigasi yang lebih independen serta melibatkan pakar-pakar yang bebas dari kepentingan penyelenggara.

Seperti yang dikutip Bloomberg, pada tahun 2020 lalu, Qatar resmi mengesahkan peraturan baru mengenai buruh yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas taraf hidup para buruh. Namun begitu, penerapan peraturan baru tersebut harus disertai sikap tegas kepada perusahaan-perusahaan yang masih mengabaikan kondisi para buruh.

Tentu para pecinta sepakbola berharap Piala Dunia 2022 benar-benar bisa mampu belajar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi di Piala Dunia sebelumnya. Namun, jika tidak ada keinginan yang kuat dari para penyelenggara maka jangan heran apabila Piala Dunia 2022 tidak jauh berbeda dengan Piala Dunia sebelumnya.

Kamis, 08 September 2022

Insiden Sepakbola Gajah Piala AFF 1998

 

Sumber: https://www.inews.id/sport/soccer/kisah-sepak-bola-gajah-di-piala-tiger-1998-indonesia-dan-thailand-saling-mengalah-demi-menghindari-vietnam 

Istilah sepakbola gajah bukanlah istilah yang asing lagi bagi penggemar sepakbola di Indonesia. Istilah tersebut merujuk kepada permainan sepakbola yang menjurus ke arah yang tidak sportif.

Istilah sepakbola gajah sendiri berawal dari Piala AFF 1998 dimana baik timnas Indonesia maupun Thailand berusaha untuk saling kalah demi menghindari timnas Vietnam. Dalam pertandingan yang digelar di Stadion Thong Hat, timnas Indonesia dan Thailand berusaha saling cetak gol dengan setengah hati. Kemudian, Mursyid Effendi melakukan gol bunuh diri sehingga timnas Thailand menang atas Indonesia dengan skor 3-2.

Insiden memalukan tersebut berdampak pada sepakbola Indonesia dan Thailand dimana PSSI dan FA Thailand dijatuhi hukuman denda $40.000. Sementara, Mursyid Effendi dihukum tidak boleh bermain di laga internasional dan dicekal bermain di pentas nasional selama setahun.

Kronologi terjadinya Sepakbola Gajah

Pada tanggal 31 Agustus 1998, timnas Indonesia berhadapan dengan timnas Thailand di stadion Thong Hat. Baik timnas Indonesia maupun timnas Thailand sama-sama menghadapi masa sulit karena mereka berdua harus menghadapi timnas Vietnam yang merupakan salah satu tim paling ditakuti di Asia Tenggara sehingga memaksa mereka berdua mencari cara supaya mereka bisa menghindar dari timnas Vietnam.

Menurut pengakuan mantan pemain timnas Indonesia, Hartono kepada Skor.id pada tanggal 18 April 2020, pemain-pemain timnas Indonesia sudah memikirkan sesuatu untuk menghindar timnas Vietnam di babak semifinal walaupun cuma sekedar gurauan saja. Sayangnya mengenai Mursyid Effendi yang telah dibriefing untuk kalah menghadapi Thailand, Hartono tidak tahu persis kejadian tersebut.

"Sepengetahuan saya, seingat saya, itu (sengaja mencetak gol bunuh diri) di briefing tidak dibahas," kata Hartono.

"Bagaimana cara kami untuk mengalahnya, atau bagaimana kami harus kalah, atau sebagainya, itu tidak dibahas," ucap Hartono seraya menambahkan.

"Saya tidak tahu kalau mungkin, mungkin loh ya, ada pembahasan atau pertemuan lain di kesempatan lainnya,", ujarnya.

Terlepas dari situ, Hartono mengatakan kalau kekuatan timnas Vietnam sangat diperhitungkan dengan statusnya sebagai tuan rumah Piala AFF.

"Yang pertama mungkin karena Vietnam menjadi tuan rumah. Kami juga melihat atmosfernya ternyata masyarakat di sana luar biasa," ujar Hartono.

Hartono menyadari bahwa timnas Thailand adalah salah satu lawan timnas Indonesia yang merepotkan.

"Sebenarnya kalau dilihat dari laga-laga yang ada, Thailand cukup bagus di fase grup. Waktu itu kan di penyisihan grup ada Thailand, Filipina, dan Myanmar," kata Hartono.

"Hanya saja, pas ketemu Thailand itu ada kejadian yang masing-masing tim punya strategi tersendiri, untuk menghindari Vietnam, dan jadi terjadi peristiwa itu," ujarnya seraya menambahkan.

Kemudian dari situ, timnas Indonesia dan Thailand mencoba untuk menghindari timnas Vietnam dengan cara bermain seolah-olah tanpa ada semangat hingga terjadilah suatu kejadian memalukan dari Mursyid Effendi yaitu gol bunuh diri ke arah gawang Thailand sehingga skor menjadi 3-2 dengan kemenangan timnas Thailand sehingga timnas Indonesia dan Thailand lolos ke babak Semifinal.

Dampak Insiden Sepakbola Gajah

Insiden sepakbola gajah yang menimpa timnas Indonesia dan Thailand berbuntut panjang lantaran insiden ini memancing kemarahan masyarakat Indonesia yang menganggap apa yang dilakukan timnas Indonesia mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia.

Sebagai dampak dari insiden tersebut, Manajer PSSI saat itu Andrie Amin dan pelatih Rusdy Bahalwan resmi mengundurkan dari dari PSSI sebagai bentuk pertanggungjawaban atas insiden tersebut.

Dilansir Kompas tanggal 5 September 1998 melaporkan: “Manajer tim PSSI Piala Tiger 1998 Andrie Amin menyatakan, dirinya dan pelatih Rusdy Bahalwan akan langsung mengundurkan diri begitu turnamen selesai. Andire, atas nama tim, juga meminta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia atas kegagalan di Vietnam, terlebih karena telah dianggap mencoreng martabat bangsa dengan permainan “sepak bola gajah” saat jumpa Thailand”.

Insiden tersebut juga berdampak ke Ketua Umum PSSI saat itu, Azwar Anas. Kasus sepakbola gajah telah menurunkan kepercayaan kepada Azwar Anas yang sejak awal diwarnai dengan mismanajemen di badan pengurus PSSI itu sendiri.

Kompas tanggal 7 September 1998 melaporkan: “Meski telah menyatakan mengundurkan diri akibat skandal yang dibuat tim nasional Indonesia di Piala Tiger 1998, Ketua Umum PSSI Azwar Anas tetap harus bertanggung jawab. PSSI juga harus menjatuhkan sanksi tegas kepada yang paling bertanggung jawab atas skandal “sepak bola gajah” di Vietnam”.

Posisi Azwar Anas sebagai Ketua Umum PSSI digantikan oleh Agum Gumelar sebagai Pejabat Pemangku Tugas Ketua Umum PSSI sebelum akan dilantik di SPP (Sidang Paripurna Pengurus) PSSI yang berlangsung pada bulan Desember 1998.

Dilansir Kompas tanggal 9 September 1998 melaporkan: “Gubernur Lemhannas, Letjen Agum Gumelar, hari Selasa (8/9) ditetapkan sebagai Pejabat Pemangku Tugas Ketua Umum PSSI, mengisi jabatan Ketua Umum PSSI Ir. Azwar Anas yang resmi mengundurkan diri. Seusai AD/ART PSSI Pasal 20 (8), penetapan Agum secara definitif akan dilaksanakan pada SPP (Sidang Paripurna Pengurus) PSSI yang akan berlangsung paling lambat bulan Desember mendatang.

Insiden tersebut membuat citra PSSI jatuh di mata Indonesia dan dunia. Terlebih insiden tersebut menjadi perhatian FIFA dan AFC sampai PSSI terancam sanksi dari AFC dan FIFA.

Kompas 15 September 1998 melaporkan: “PSSI harus segera mengambil langkah-langkah memperbaiki citra sepak bola Indonesia yang telah tercoreng di arena Piala Tiger 1998. Langkah tersebut dengan memberikan sanksi kepada orang-orang yang bertanggung jawab. Dalam kaitan ini, PSSI juga harus cepat melakukan tindakan untuk meminta keringanan sanksi yang telah dijatuhkan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).

Sebagai dampak dari kasus insiden sepakbola gajah di Piala AFF 1998, Andrie Amin, Rusdy Bahalwan dan Mursyid Effendi terancam skors dari PSSI terkait dengan peran mereka di balik skandal tersebut.

Dilansir Kompas 18 September 1998 melaporkan: “PSSI akhirnya menskors manajer tim Andrie Amin, pelatih Rusdy Bahalwan, dan bek Mursyid Effendi, berkaitan dengan skandal “sepak bola gajah” tim nasional di Piala Tiger di Vietnam. Ketiganya dianggap paling bertanggunng jawab atas kejadian yang mengakibatkan Indonesia dihukum Konfederasi Sepak Bola Asia ini.

Mursyid Effendi sendiri menjadi kambing hitam atas skandal tersebut dan memunculkan kutukan kalau timnas Indonesia tidak akan bisa juara di berbagai turnamen internasional. Setiap timnas Indonesia gagal juara, muncul anggapan kalau kutukan yang menimpa timnas Indonesia karena skandal sepakbola gajah pada tahun 1998 silam.

Insiden sepakbola gajah juga melahirkan istilah “sepakbola gajah” untuk menyebut permainan sepakbola yang jauh dari kata sportif serta diwarnai berbagai macam kecurangan.