Sumber: https://jurnalmedan.pikiran-rakyat.com/sport/pr-1494984991/sejarah-psms-medan-juara-bersama-persija-jakarta-tahun-1975-trofi-diputuskan-milik-warga-medan-dan-jakarta
El Clasico Indonesia selama ini disematkan kepada derby Persija dan Persib serta Persib dan PSMS sebagai derby paling bergengsi di Indonesia. Padahal sebelum itu, derby Persija Jakarta dan PSMS Medan pernah menjadi salah satu derby paling bergengsi di Indonesia. Hal ini tentu bukan alasan mengingat Persija Jakarta dan PSMS Medan merupakan salah satu klub paling sukses di era Perserikatan.
Pada tahun 1970-an, derby El Clasico Indonesia identik dengan Persija vs PSMS. Hal ini dikarenakan Persija dan PSMS mendominasi juara liga Perserikatan dari tahun 1971 sampai tahun 1979, kecuali Persebaya yang menjuarai liga Perserikatan di tahun 1978.
Tentu aja cerita yang menarik di balik derby Persija dan PSMS yang terjadi sejak awal era Perserikatan seperti yang akan dibahas di bawah.
Ketika Persija dan PSMS juara bersama
Final Perserikatan 1975 dihadiri oleh salah satu tim paling kuat pada masanya, Persija Jakarta dengan segudang prestasinya yang luar biasa dan PSMS Medan dengan gaya bermain rap-rap serta dijuluki The Killers karena kemampuan bermainnya yang membuat PSMS Medan ditakuti oleh tim lawannya.
Pertandingan yang berlangsung tanggal 8 November 1975 digelar di Stadion Utama Senayan dan penonton diperkirakan berjumlah 125.000 penonton yang menjadikan rekor pertandingan dengan penonton terbanyak kedua di Indonesia setelah pertandingan Persib vs PSMS pada tahun 1985.
Pertandingan final Perserikatan 1975 berlangsung dramatis dan alot dimana terjadi aksi perkelahian antar pemain. Hal ini bermula ketika Persija berhasil mengimbangi gol dengan skor 1-1. Hal ini membuat pemain PSMS tidak terima karena merasa Iswadi melakukan pelanggaran ketika melakukan mencetak gol.
Dilansir koran Pikiran Rakyat tanggal 10 November 1975, Persija melakukan serangan gol terus-menerus ke gawang PSMS dan permainan mulai berlangsung keras sehingga wasit harus memperingatkan beberapa pemain dari kedua klub tersebut.
Seiring berjalannya waktu, permainan menjadi semakin lebih keras dan tegang. Tidak jarang, terjadi aksi baku hantam antara pemain dari kedua belah pihak. Pertandingan yang semula bakal selesai sesuai rencana ternyata mulai tidak kondusif. Keputusan wasit yang tidak tegas memicu protes dari pemain Persija dan PSMS.
Koran Kompas tanggal 10 November 1975 melaporkan: “Tak dapat dihindarkan kesan bahwa para pemain makin ‘peka dan galak’. Menit ke-29 terjadi ‘pelanggaran’ atas Andi Lala dan kiri luar Persija ini secara ‘agak dibuat-buat’ jatuh terpelanting.
Wasit memberikan tendangan bebas untuk Persija. Keputusan ini tidak memuaskan para pemain PSMS. Mereka mengerumuni wasit dan beberapa di antaranya mendorong-dorong Mahdi Talib. Dua menit kemudian, dalam keadaan tanpa bola, Sarman Panggabean menendang Junaedi Abdillah sehingga ‘tukang tembak’ Persija itu untuk beberapa saat menggeletak”.
Kondisi semakin lebih runyam ketika wasit hanya mengeluarkan kartu kuning kepada Sarman Panggabean sehingga pemain Persija menjadi kurang puas. Pelanggaran demi pelanggaran terus berlangsung di tengah-tengah pertandingan dimana Iswadi Idris menghajar Nobon Kayamuddin sehingga Iswadi mendapatkan kartu merah. Persija bereaksi dengan menolak keputusan wasit yang dianggap tidak adil. Sementara, PSMS membalas reaksi Persija dengan tidak mau main apabila Iswadi masih bermain.
Karena kericuhan itulah, pertandingan akhirnya resmi dihentikan di menit ke-40. Pengurus PSSI memutuskan untuk tidak meneruskan pertandingan dan menyatakan Persija dan PSMS sebagai juara bersama. Persija merasa kecewa dengan keputusan tersebut.
Koran Kompas pada tanggal 10 November 1975 melaporkan: “Memang menyedihkan keputusan Sabtu malam itu tak bisa dibanggakan sama sekali. Memang jalan paling mudah dan tanpa risiko, ditinjau secara keseluruhan hal itu hanya merupakan manifestasi dari merosotnya kewibawaan pengurus PSSI. Keputusan itu bisa merupakan preseden yang berbahaya. Hal ini memberikan ‘pelajaran’ dimasa mendatang bahwa cara paling jitu untuk menghindarkan kekalahan di final adalah ‘menciptakan perkelahian dan suasana yang gawat’. Suatu tim ‘underdog’ yang tak mungkin menang hanya perlu membuat kerusuhan, sebab akhirnya toh akan dinyatakan sebagai juara bersama”
Dari pertandingan final Perserikatan 1975, telah memunculkan pelajaran berharga mengenai peningkatan kemampuan wasit ketika mengatur pertandingan dalam
kondisi dimana tensi pertandingan mulai memanas. Terlebih, keputusan wasit yang tidak memberikan kartu merah kepada Sarman Panggabean layak untuk dipertanyakan.
Derby Persija vs PSMS sejak tahun 1994
Pasca Perserikatan dan Galatama digabung menjadi Liga Indonesia pada tahun 1994, derby Persija dan PSMS mulai tergantikan dengan derby Persija vs Persib. Hal ini disebabkan karena pembagian grup menjadi grup barat dan timur serta performa PSMS yang mulai melempem akibat kurangnya pendanaan.
Pada musim Indonesian Super League 2011-12, PSMS Medan tengah menghadapi Persija Jakarta yang tengah bertandang ke Stadion Teladan dan laga berakhir imbang dengan skor 3-3. Kemudian, Persija berhasil memenangkan pertandingan melawan PSMS di Stadion Lebak Bulus dengan skor 1-0.
Di semifinal Piala Presiden 2018, Persija berhasil mengalahkan PSMS Medan di leg pertama dengan skor 1-4 dan leg kedua dengan skor 1-0.
Sementara itu di Liga 1 2018, Persija yang bertandang ke Stadion Teladan dikalahkan oleh PSMS dengan skor 3-1. Kemudian, pertandingan Persija vs PSMS yang diselenggarakan di Stadion Sultan Agung Bantul berakhir tanpa gol satupun dari kedua klub.
Tingginya animo penonton di pertandingan derby El Clasico Persija vs PSMS menunjukkan bahwa derby Persija vs PSMS dengan persaingan panjang sejak era Perserikatan merupakan salah satu derby sepakbola Indonesia yang paling ditunggu-tunggu dalam sejarah sepakbola Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar